TASIKMALAYA, NewsTasikmalaya.com – Isu larangan pernikahan antara suku Sunda dan Jawa masih saja jadi bahan perbincangan. Banyak yang percaya bahwa dua suku besar di tanah Jawa ini tidak seharusnya disatukan dalam pernikahan. Tapi, dari mana sebenarnya asal-usul mitos ini?
Kisah paling populer yang sering dijadikan dasar adalah Perang Bubat, sebuah tragedi yang tercatat dalam sejarah Nusantara. Saat itu, Raja Hayam Wuruk dari Majapahit berniat meminang Dyah Pitaloka, putri dari Kerajaan Sunda.
Namun, niat baik itu berujung petaka ketika Gajah Mada, Patih Majapahit, menyampaikan maksud pernikahan secara sepihak, yang dianggap penghinaan oleh pihak Kerajaan Sunda. Konflik pun pecah dan membawa dampak buruk pada hubungan kedua kerajaan.
Tragedi ini diyakini menjadi bibit lahirnya mitos bahwa pernikahan antara orang Sunda dan Jawa akan membawa petaka.
Di kalangan masyarakat yang masih menjaga adat buhun (tradisi leluhur), kepercayaan ini tetap dijunjung tinggi. Mereka yakin, pasangan dari kedua suku ini akan mengalami rumah tangga yang tidak langgeng atau penuh masalah.
Namun, benarkah demikian?
Sejumlah ahli budaya dan sejarah menyatakan bahwa anggapan tersebut tidak lebih dari mitos belaka. Tidak ada bukti ilmiah atau hukum adat yang secara resmi melarang pernikahan antara suku Sunda dan Jawa.
Bahkan, seiring dengan perkembangan zaman, banyak pasangan dari dua suku ini yang justru hidup bahagia dan harmonis.
Fenomena pernikahan lintas suku saat ini semakin lazim. Cinta, kesetiaan, dan nilai-nilai bersama menjadi pondasi utama dalam membangun rumah tangga bukan semata asal-usul budaya. Generasi muda pun mulai berpikir lebih terbuka, melihat keberagaman sebagai kekayaan, bukan batasan.
Sebagaimana yang dirangkum oleh NewsTasikmalaya.com, mitos dan tradisi seperti ini sebaiknya dipahami sebagai bagian dari warisan sejarah, bukan sebagai aturan mutlak dalam kehidupan modern.