Ikuti Kami :

Disarankan:

Jelang PSU Tasikmalaya, Bayang-Bayang Politik Uang dan Ketidaknetralan ASN Kian Menguat

Rabu, 16 April 2025 | 12:17 WIB
Jelang PSU Tasikmalaya, Bayang-Bayang Politik Uang dan Ketidaknetralan ASN Kian Menguat
Wakil Sekretaris Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Pemuda HMI Cabang Tasikmalaya, Ahmad Riza Setiawan. Foto: Istimewa

Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Tasikmalaya yang dijadwalkan pada 19 April 2025 menjadi sorotan tajam berbagai kalangan.

TASIKMALAYA, NewsTasikmalaya.com – Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Tasikmalaya yang dijadwalkan pada 19 April 2025 menjadi sorotan tajam berbagai kalangan. 

Bukan hanya karena prosesnya yang krusial, tapi juga karena kekhawatiran akan praktik politik uang dan dugaan keberpihakan aparatur sipil negara (ASN) yang mencederai integritas demokrasi lokal.

Ahmad Riza Setiawan, Wakil Sekretaris Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Pemuda (PTKP) HMI Cabang Tasikmalaya, mengungkapkan keresahannya atas potensi kecurangan yang kembali membayangi PSU mendatang. 

Menurutnya, politik uang masih menjadi senjata utama untuk meraih suara, terutama di kalangan masyarakat dengan latar belakang ekonomi dan pendidikan yang rendah.

“Money politics telah menjadi semacam budaya buruk yang diwariskan dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Bukan sekadar bantuan, tapi sudah menjadi alat tukar suara,” ujar Ahmad dalam pernyataan tertulis yang diterima NewsTasikmalaya.com, Rabu (16/4/2025).

Ia menilai, ketika selisih suara begitu tipis dan tensi politik meningkat, praktik curang seperti ini akan semakin masif dan tanpa malu-malu dilakukan secara terbuka. Dampaknya bukan hanya mencederai proses demokrasi, tapi juga memperlemah daya kritis publik.

“Alih-alih memilih berdasarkan program atau rekam jejak, warga diarahkan untuk memilih karena iming-iming uang tunai. Ini yang membuat demokrasi kehilangan ruhnya,” lanjutnya.

Lebih jauh, Ahmad juga menyoroti indikasi kuat adanya ketidaknetralan ASN dalam pelaksanaan PSU. Sejumlah pejabat daerah, dari tingkat camat hingga kepala desa, diduga terang-terangan berpihak kepada salah satu pasangan calon.

“ASN yang seharusnya netral dan profesional justru terseret dalam kepentingan politik praktis. Mereka dipaksa memilih loyal kepada kekuasaan atau siap-siap kehilangan posisi dan masa depan kariernya,” tegasnya.

Situasi ini, menurut Ahmad, memperlihatkan lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam menegakkan prinsip netralitas birokrasi. Ia menyebut hal ini sebagai kombinasi berbahaya: politik uang yang merajalela, dan birokrasi yang kehilangan integritas.

“Jika dua penyakit demokrasi ini dibiarkan berkelindan, maka PSU hanya akan menjadi pengulangan dari kegagalan sebelumnya. Demokrasi lokal akan runtuh oleh kekuatan uang dan tekanan struktural, bukan oleh adu gagasan dan visi,” katanya.

Ahmad pun menegaskan bahwa PSU seharusnya menjadi titik balik, bukan kelanjutan dari kekacauan yang lama. Proses ini harus menjadi refleksi dan momentum untuk membenahi tata kelola demokrasi lokal secara menyeluruh.

“Selama praktik transaksional masih mendominasi dan ASN tidak diberi ruang untuk netral, maka yang terjadi bukan demokrasi, tapi hanya ilusi dari sebuah pemilihan,” pungkasnya.

Editor
Link Disalin